CNN Indonesia | Kamis, 17 Mar 2022 06:27 WIB
Jakarta, CNN Indonesia — Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terbaru menyebut sejumlah turunan batu bara sebagai sumber energi baru.
Sumber energi baru sendiri merupakan sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 9 Ayat 1 RUU EBT. Pasal tersebut menerangkan sumber energi baru terdiri atas nuklir dan sumber energi baru lainnya.
Kemudian, yang dimaksud dengan sumber energi baru lainnya adalah sumber energi yang menurut perkembangan teknologi dapat dikategorikan sebagai energi baru.
“Sumber energi baru lainnya antara lain hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal),” tulis RUU seperti dikutip pada Rabu (16/3).
Lebih lanjut, ketentuan mengenai jenis sumber energi baru lainnya tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengatakan produk turunan batu bara tergolong ke dalam EBT karena produk tersebut telah diproses, sehingga kandungan karbonnya pun sudah tidak ada lagi.
“Sehingga dari aspek kandungan karbon yang di batu bara itu sudah sangat minim dan sudah masuk kategori energi besi,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/3).
Oleh karena itu, ia menilai sudah tidak ada lagi risiko pencemaran karena kandungan karbonnya sudah hilang.
Saat ini, sambung Eddy, RUU tersebut tengah dalam proses harmonisasi. Jika proses tersebut lolos maka tahapan selanjutnya adalah penetapan usulan, pembahasan, pembicaraan tingkat I, dan pembicaraan tingkat II.
Meski demikian, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan hal yang berbeda. Dalam risetnya dikatakan pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batubara akan menghasilkan CO2 dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pembangkit listrik dari gas alam.
Selain isu terkait pencemaran udara, pengembangan energi baru juga berdampak kepada kualitas maupun kuantitas air.
“Sebagai contoh dalam pengembangan batubara tercairkan. Saat limpasan air hujan mengalir ke area pertambangan, air hujan akan bereaksi dan beroksidasi dalam batubara, kemudian menghasilkan asam sulfat yang dapat larut ke dalam sumber air,” tulis riset tersebut.
Proses tersebut dinamakan sebagai acid mine drainage atau air asam tambang. Air asam tambang yang dapat mencemari air permukaan dan air tanah ini dapat terus berlangsung bahkan ketika pertambangan tersebut tidak lagi beroperasi.
Selain itu, sambung ICEL, pencemaran air juga mungkin terjadi dari proses pertambangan dan pencairan tersebut. Berbagai polutan seperti arsenik, cadmium, merkuri, ammonia, sulfur, nitrat, besi, dan lainnya berpotensi bercampur dengan air dan mencemari sumber air sekitar.
“Adanya pencemaran air ini tentu akan berdampak pada sulitnya akses masyarakat sekitar area pertambangan terhadap air bersih untuk kebutuhan sehari-hari,” tulis ICEL.
(mrh/sfr)