CNN Indonesia | Senin, 15/02/2021 11:38 WIB
Jakarta, CNN Indonesia — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia surplus US$1,96 miliar secara bulanan pada Januari 2021. Realisasi itu lebih rendah dari surplus US$2,1 miliar pada Desember 2020, namun lebih tinggi dari defisit US$640 juta pada Januari 2020.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan surplus neraca perdagangan terjadi karena nilai ekspor mencapai US$15,3 miliar pada Januari 2021. Nilainya turun 7,48 persen dari US$16,54 miliar pada Desember 2020.
Sedangkan, nilai impor mencapai US$13,34 miliar. Nilainya turun 7,59 persen dari US$14,44 miliar pada bulan sebelumnya.
“Dari siklus selalu ada penurunan di Januari karena di Desember banyak kegiatan. Tapi surplus ini lebih bagus dari Januari 2020 sehingga memberi harapan pada pemulihan ekonomi,” papar Suhariyanto saat rilis data neraca perdagangan periode Januari 2021, Senin (15/2).
Secara rinci, kinerja ekspor ditopang oleh ekspor minyak dan gas (migas) mencapai US$880 juta miliar atau turun 13,24 persen pada bulan sebelumnya. Penurunan terjadi justru di tengah kenaikan harga minyak.
“Harga ICP Desember 2020 dari US$47,8 per barel naik menjadi US$53,17 per barel,” ujarnya.
Sementara ekspor nonmigas sebesar US$14,42 miliar atau melorot 7,11 persen persen. Menurutnya, penurunan ekspor terjadi karena turunnya harga sejumlah komoditas.
“Beberapa komoditas yang turun harganya minyak kelapa sawit turun 2,5 persen, karet 12 persen,” jelasnya.
Namun, ada beberapa komoditas yang harganya meningkat. Misalnya batu bara 4,58 persen, minyak kernel 11,98 persen, tembaga, timah, dan emas.
Total ekspor nonmigas mencapai 94,22 persen dari total ekspor Indonesia pada bulan lalu. Mulai dari ekspor industri pertanian yang turun 22,19 persen menjadi US$340 juta, industri pengolahan turun 7.15 persen menjadi US$11,99 miliar, dan industri pertambangan turun 3,81 persen menjadi US$2,09 miliar.
Kendati turun secara bulanan, ekspor berdasarkan sektor sejatinya tumbuh dua angka secara tahunan. Tercatat, industri pertanian naik 13,91 persen, industri pengolahan 11,72 persen, dan tambang 16,92 persen.
“Ini kabar yang menggembirakan, naik dua digit secara yoy,” imbuhnya.
Berdasarkan kode HS, peningkatan ekspor terjadi di komoditas bahan bakar mineral, tembaga dan barang daripadanya, pulp dari kayu, karet dan barang dari karet, dan alas kaki.
“Beberapa peningkatannya terjadi karena kenaikan volume. Utamanya kita ekspor ke China dan India,” tuturnya.
Sementara penurunan ekspor terjadi di komoditas bijih, terak, dan abu logam, lemak dan minyak hewan nabati, besi dan baja, mesin dan perlengkapan elektrik, dan kopi, teh serta rempah-rempah.
“Penurunan utamanya ke Jepang,” ujarnya.
Berdasarkan negara tujuan ekspor, peningkatan nilai ekspor nonmigas terjadi ke Thailand sebesar US$60,4 juta, Myanmar US$38,2 juta, Ukraina US$38 juta, Mesir US$34,9 juta, dan Spanyol US$32 juta.
Penurunan ekspor terjadi ke India mencapai US$315,4 juta, China US$268,8 juta, Amerika Serikat US$193,9 juta, Malaysia US$121,3 juta, dan Taiwan US$106,4 juta.
Kendati begitu, pangsa ekspor Indonesia tidak berubah, yakni terbanyak masih ke China mencapai 21,16 persen. Setelah itu ke AS dan Jepang, masing-masing 11,63 persen dan 8,66 persen.
Dari sisi impor, impor migas sebesar US$1,5 miliar atau naik 4,73 persen dari bulan sebelumnya. Sementara impor nonmigas senilai US$11,79 miliar atau turun 9 persen.
“Impor masih mengalami kontraksi karena impor migas masih naik, tapi nonmigasnya turun sampai 9 persen,” jelasnya.
Suhariyanto mencatat penurunan impor terjadi di barang konsumsi sebesar 17 persen menjadi US$1,42 miliar.
“Ada beberapa yang turun cukup dalam seperti bawang putih dari China, impor animal frozen dari India, apel dari China juga turun, kemudian juga ada penurunan milk and cream and powder dari New Zealand, dan satu lagi anggur segar dari China,” paparnya.
Lalu, impor bahan baku/penolong melorot 2,62 persen menjadi US$9,93 miliar dan barang modal anjlok 21,23 persen menjadi US$1,99 miliar. Penurunan impor bahan baku berupa soya bean dari Argentina, otomotif diesel fuel dari Singapura, mesin dari China dan Italia.
Berdasarkan kode HS, kenaikan impor berasal dari komoditas produk farmasi, gula dan kembang gula, biji dan buah mengandung minyak, kendaraan dan bagiannya, dan plastik dan barang dari plastik.
Sementara penurunan impor berasal dari komoditas mesin dan peralatan mekanis, mesin dan perlengkapan elektrik, ampas/sisa industri makanan, perangkat optik, dan kapal perahu serta struktur terapung.
Berdasarkan negara asal impor, penurunan impor nonmigas terjadi dari China mencapai US$293,4 juta, Brasil US$293 juta, Perancis US$129,1 juta, Ukraina US$93,6 juta, dan Hong Kong US$74 juta.
Sebaliknya, peningkatan impor terjadi dari Afrika Selatan sebesar US$77,9 juta, Kanada US$30,4 juta, Pakistan US$21,3 juta, Vietnam US$18,2 juta, dan Finlandia US$11,1 juta.
(uli/age)