NEWS – Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia | 05 October 2023 15:10
Jakarta, CNBC Indonesia – Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk segera mengatasi permasalahan usulan tarif jasa kepelabuhan yang dinilai menjadi hambatan bagi perusahaan batu bara khususnya dalam aktivitas pengapalan batu bara untuk diekspor maupun untuk memasok kebutuhan domestik.
Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia mengatakan bahwa pemerintah harus segera turun tangan untuk mengatasi hambatan yang diklaim oleh pengusaha batu bara khususnya perusahaan penyewaan floating crane (FC) dan floating loading facility (FLF), dan perusahaan bongkar muat (PBM) yang tidak bisa menjalankan aktivitasnya karena adanya aturan tersebut.
“Yang paling urgent tentunya dalam situasi saat ini ya layanan itu harus diberikan dulu. Kita kan sekarang perusahaan-perusahaan floating crane kan nggak bisa beroperasi karena mereka harus ikut dalam sistem aplikasi di BUP (Badan Usaha Pelabuhan) baru dapat izin dari Kemenhub ada namanya izin gerak dan segala macam supaya bisa perpanjangan izin gerak,” ujar Hendra kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (5/10/2023).
Dia klaim ketiga jenis perusahaan tersebut sulit untuk mendapatkan perpanjangan izin gerak karena belum terdaftar dalam aplikasi yang dikoordinir oleh BUP dalam hal ini PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB) di Pelabuhan alih muat (transshipment) Muara Berau Samarinda. Adapun usulan tarif itu berlaku per 1 Oktober 2023.
“Tapi sampai saat ini anggota APBI juga melaporkan bahwa perusahaan floating crane, dan itu floating loading facility, kesulitan mendapatkan perpanjangan izin gerak dari Kemenhub karena belum mendaftarkan dalam aplikasi sistem yang dibuat oleh PTB sebagai BUP,” tambahnya.
Dengan begitu, dia berharap pemerintah segera mengkaji ulang tarif jasa kepelabuhan dan segera memberikan izin agar aktivitas pengapalan bisa kembali berjalan secara normal.
“Karena kita mengajukan keberatan secara resmi ya, segera layanan dilaksanakan. Layanan dijalankan dulu supaya terus bisa pengapalan bisa berlangsung. Sementara pemerintah mengkaji kembali tarif ini dan merevisi peraturan menteri supaya kita dilibatkan secara resmi, APBI sebagai pengguna jasa karena kan yang paling terdampak kan kita,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir menyatakan, tarif yang ditetapkan sepihak tanpa mempertimbangkan masukan dari para pihak yang terdampak seperti penambang dalam kapasitas sebagai “shipper”, perusahaan penyewaan floating crane (FC) dan floating loading facility (FLF), perusahaan bongkar muat (PBM).
Tercatat, ada sekitar 20 perusahaan anggota APBI-ICMA (shipper) beroperasi di Muara Berau yang keberatan dengan tarif yang menambah beban biaya yang belum disepakati oleh pihak shipper.
Perusahaan anggota APBI-ICMA bukan hanya mengirim batubara dari Muara Berau untuk ekspor tetapi juga untuk domestik.
Pandu menyatakan, usulan dan rekomendasi dari APBI-ICMA tidak dipertimbangkan antara lain karena di dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 121 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 72 Tahun 2017 tentang Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepelabuhanan di Pasal Pasal 18 ayat (1) huruf b (2), APBI- ICMA tidak termasuk sebagai pihak pengguna jasa.
“APBI-ICMA sudah mengajukan surat permohonan ke Kementerian Perhubungan agar segera merevisi PM No. 121 Tahun 2018 dengan mencantumkan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) sebagai salah satu pengguna jasa yang wajib dilibatkan dalam pembahasan usulan tarif jasa kepelabuhanan,” ungkap Pandu dalam siaran tertulisnya, Selasa (3/10/2023).
Oleh karena itu, APBI dalam surat yang disampaikan ke Menteri Perhubungan memohon agar Pemerintah mengkaji kembali tarif jasa kepelabuhanan yang telah ditetapkan dan merevisi PM 121/2018 serta melibatkan APBI-ICMA sebagai pihak pengguna jasa yang dilibatkan secara resmi dalam pembahasan rekomendasi usulan tarif jasa kepelabuhanan.
(pgr/pgr)
Sumber: CNBC Indonesia