CNN Indonesia | Jumat, 07/05/2021 15:47 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Direktur Mega Proyek PT PLN (Perseo) M. Ikhsan Asaad mengatakan belanja modal (capital expenditure/capex) untuk proyek PLTU co-firing lebih murah ketimbang membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Pasalnya, co-firing hanya membutuhkan biaya untuk mengubah sampah menjadi pellet. Sehingga, PLN berencana mengusulkan proyek tersebut sebagai jalan keluar mengatasi permasalahan sampah sekaligus meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT).

“Kalau angkanya, kemarin kami uji coba di tempat pembuangan sampah di Rawa Kucing, Tangerang. Kira-kira dengan 100 ton per hari itu Rp24 miliar. Saya kira jauh lebih efisien dibandingkan dengan membangun PLTSa,” ucapnya dalam diskusi virtual bertajuk ‘Program Co-Firing dan Konversi EBT’, Jumat (7/5).

Lihat juga:PLN Janji Cuma Bangun Pembangkit EBT Usai Proyek 35 Ribu MW
Selain itu, kata dia, PLTU co-firing juga bisa dikombinasikan dengan proyek PLTSa di wilayah tertentu. Ia mencontohkan, misalnya, di Surabaya yang produksi sampahnya mencapai 4 ribu ton per hari. Saat ini, kota tersebut baru memiliki 1 PLTSa berkapasitas 9 MW di Benowo yang mampu mengubah sampah menjadi listrik sebanyak seribu ton per hari.

“Ini sedang kami assessment bagaimana kira-kira kalau dua tipe ini kami gabungkan, karena memang dengan PLTSa saja, dengan 9 MW itu tidak bisa menyelesaikan sampah 4 ribu ton per hari,” jelasnya.

Co-firing merupakan proses menambahkan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau campuran batu bara di PLTU. Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menyampaikan pihaknya menargetkan membangun proyek co-firing di 52 wilayah hingga 2025 mendatang.

Lihat juga:Pemerintah Rogoh Rp67 T Lebih per Tahun Agar PLN Tak Tekor
“Program co-firing dimulai 2018 dan sampai hari ini telah dioperasikan di 8 PLTU eksisting dan 29 diantaranya masih proses uji coba. Kami targetkan tahun 2025 sebanyak 52 lokasi PLTU PLN akan mengimplementasi program co-firing ini dengan kontribusi energi listrik saja sebesar 10,6 giga watt,” pungkasnya.

Zulkifli menyampaikan untuk mencapai target tersebut dibutuhkan bahan baku untuk bio massa sebanyak 9 juta ton per tahun. Jumlah tersebut kurang dari setengah total bio massa yang bisa diproduksi Indonesia selama setahun yakni 41 juta ton.

“Co-firing merupakan bagian dari ekosistem kerakyatan yang memberikan dampak sosial ekonomi yang positif, melibatkan masyarakat dalam menyiapkan green stock biomass. PLN juga membangun kerja sama guna menjamin ketersediaan rantai pasokannya dari potensi biomassa yang relatif tinggi yaitu sebesar 41,6 juta ton per tahun,” pungkasnya.

(hrf/age)