CNN Indonesia | Kamis, 25/03/2021 11:45 WIB
Jakarta, CNN Indonesia — PT Bukit Asam Tbk atau PTBA menargetkan bisa mengantongi pendapatan sebesar US$300 juta per tahun, atau setara Rp4,31 triliun (kurs Rp14.396 per dolar AS) dari proyek hilirisasi batu bara. Hilirisasi batu bara ini meningkatkan nilai tambah dari mineral itu sehingga mendorong kenaikan pendapatan perusahaan.
“Kalau selama ini kami tergantung dari pasar ekspor atau pihak ketiga sekarang kami gunakan sendiri, kami olah sehingga bisa memanfaatkan batu bara dengan total revenue kira-kira hampir US$300 juta per tahun,” ujar Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin dalam acara Mining Forum CNBC Indonesia, Rabu (24/3).
Ia mengungkapkan perseroan saat ini tengah mempersiapkan sejumlah infrastruktur hilirisasi batu bara. Salah satunya, kata dia, proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Targetnya, pembangunan fasilitas gasifikasi batu bara bisa dimulai pada akhir 2021 paling lambat awal 2022, dengan masa konstruksi selama empat tahun.
“Jadi, kira-kira di awal 2025 kami harapkan DME ini sebagai substitusi elpiji bisa dinikmati oleh masyarakat yang 100 persen buatan dalam negeri dan tidak impor,” tuturnya.
Selain itu, perusahaan tambang pelat merah itu juga telah mulai membangun PLTU mulut tambang. Perseroan menggenjot pelaksanaan proyek tersebut guna mendorong hilirisasi batu bara.
Ia menargetkan Bukit Asam menjalankan operasional (Commercial Operating Date/COD) PLTU mulut tambang terbesar di Indonesia dengan kapasitas 1.200 MW pada 2022 mendatang. Lokasi PLTU mulut tambang itu berada di Sumatera.
“Jadi, kami tidak lagi jual batu bara tapi sudah mulai menjual listrik. Ini basic dari hilirisasi sebenarnya,” ucapnya.
Sebelumnya, ia pernah mengungkapkan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME memiliki nilai investasi US$2,1 miliar. Ada tiga perusahaan yang terlibat dalam proyek tersebut, meliputi PT Pertamina (Persero), Air Products dan Bukit Asam sendiri.
Mereka sedang dalam pembahasan perjanjian bisnis dan diharapkan kesepakatan bisa ditandatangani sebelum akhir 2020.
Nantinya, terang Arviyan, investasi pembangunan proyek termasuk biaya produksi seluruhnya akan ditanggung oleh Air Products, mitra bisnis yang berasal dari Amerika Serikat.
“Jadi setelah 20 tahun pabrik ini akan dimiliki oleh joint venture PTBA dan Pertamina. Itu opsinya,” terang Arviyan belum lama ini.
(ulf/sfr)