CNN Indonesia | Rabu, 13/05/2020 14:52 WIB
Jakarta, CNN Indonesia – Koalisi Masyarakat yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia menduga pembahasan kilat revisi Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) hanya mementingkan sekelompok pengusaha.
Hindun Malika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menyebut sedikitnya tujuh perusahaan tambang diuntungkan oleh perubahan UU yang baru disahkan oleh pemerintah dan DPR tersebut.
“Kurang lebih ada tujuh perusahaan yang akan habis izinnya, yang menurut kami mereka lah yang coba diselamatkan oleh pemerintah melalui revisi UU Minerba ini” ujarnya, dalam konferensi pers yang Koalisi Masyarakat #bersihkanindonesia Rabu (13/5).
Sebetulnya, nama-nama perusahaan itu disebutkan dengan gamblang. Namun, CNNIndonesia.com masih mencoba mengkonfirmasi kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut Hindun, perusahaan-perusahaan itu sedang berusaha keras untuk mendapatkan jaminan atas refinancing (pembiayaan kembali) utang-utang mereka. Salah satu jaminan tersebut adalah perpanjangan izin kontrak pertambangan yang memungkinkan mereka terus beroperasi dan meraup laba.
Selain perpanjangan izin, sebagian perusahaan menganggap kapasitas untuk membiayai kembali utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat itu bergantung pada kebutuhan untuk mengganti cadangan batu bara yang menyusut.
“Sekitar US$2,9 miliar obligasi dan utang bank perusahaan tambang Indonesia akan jatuh tempo pada tahun 2022. Breakdown-nya kurang lebih US$800 juta di 2020 dan US$700 juta di 2021. Ini jadi resiko tersendiri. Kalau mereka tidak mempunyai refinancing plan, pengaruhnya akan langsung terlihat pada credit rating mereka,” sebut Hindun.
Penjelasan tersebut sejalan dengan laporan Moody’s Investor Service yang memperkirakan risiko pembiayaan utang kembali (refinancing) perusahaan batu bara di Indonesia akan melonjak pada 2022.
Berdasarkan laporan tersebut, perusahaan batu bara yang mampu mengelola risiko refinancing dengan baik adalah perusahaan yang memiliki profil bisnis kuat, cadangan batu bara yang besar dan akses ke pasar modal yang baik.
Meski demikian, perusahaan itu menghadapi ketidakpastian regulasi yang lebih tinggi lantaran izin konsesi batu bara mereka yang berupa Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) akan habis.